BITUNG, LensaSulut.com – Permohonan gugatan praperadilan terhadap Polres Bitung yang diajukan oleh Karim Yusuf melalui kuasa hukumnya Wanny CH Tumewu, SH, SE, MH selaku pemohon, telah memasuki tahap persidangan oleh Pengadilan Negeri Bitung, pada hari Kamis 13/1/2022.
Sidang dengan agenda pembacaan materi gugatan ini dipimpin oleh hakim tunggal Christian Siregar SH dengan panitera Julita Warouw SH. Persidangan yang tidak dihadiri oleh pihak termohon yakni Polres Bitung, dinyatakan ditunda dan dijadwalkan kembali pada pekan depan, Selasa 18 Januari 2022.
Diketahui, Karim Yusuf warga Perum Pinokalan Indah Blok G nomor 11, Kelurahan Pinokalan, Kecamatan Ranowulu, kota Bitung, merupakan tahanan Polres Bitung. Karim dilaporkan oleh Yunistiawaty Soehardjo atas dugaan hutang piutang, yang oleh penyidik dalam BAP dijerat dengan tindak pidana pasal 378.
Praperadilan terhadap Polres Bitung karena kasus yang menimpa kliennya menurut pengacara Wanny CH Tumewu, bahwa pihaknya menilai, harusnya ini masalah perdata tapi oleh penyidik dalam BAP dipaksakan menjadi pidana pasal 378 KUHP.
Selain itu jelas Tumewu, pihaknya merasa banyak kejanggalan pada proses hukum dan diperlakukan tidak adil oleh penyidik Polres yang menangani kasus ini. Masalah ini dirasakan sejak gelar perkara pada tanggal 30 September 2021.
“Gelar perkara kan menentukan apakah laporan ini naik sidik atau tidak. Nah setelah gelar perkara, tidak ada pemberitahuan sama sekali tindak lanjut hasil gelar perkara kepada klien kami apakah naik sidik atau tidak. Harusnya berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi, harus ada pemberitahuan maksimal 7 hari kepada terlapor apabila naik sidik. Tapi ternyata SPDP (Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan), baru disampaikan pada tanggal 8 November 2021 kepada terlapor dan diminta menghadap tanggal 10 November untuk BAP sebagai tersangka. Jadi kalau dihitung sudah lewat 39 hari. Berarti tidak sah SPDP-nya,” terang Tumewu.
“Tapi karena berhalangan hadir pada hari jumat tanggal 10 november, pihak kami melakukan pemberitahuan lewat surat meminta waktu seminggu. Tapi sudah disusul dengan surat panggilan ke 2 untuk menghadap tanggal 13 pada hari Senin, jadi terkesan kasus ini terburu buru. Setelah seminggu yakni tanggal 20 kami menghadap dan dilakukan BAP, langsung disertai surat penangkapan. Klien saya kan bukan residivis atau buronan,” tukasnya.
Selain itu ungkap Tumewu, pada saat pemeriksaan penyidikan, pihaknya mengajukan saksi ade charge. Tapi oleh penyidik pembantu menyatakan kalau saksinya terlalu banyak, dan mengatakan nanti dia (penyidik pembantu) yang akan menilai dan mempertimbangkan saksi mana yang akan dipanggil.
“Selain mengajukan hak sebagai terlapor untuk menghadirkan saksi ade charge, klien kami juga mengajukan untuk menghadirkan ahli hukum pidana dari pihaknya terlapor. Tapi lagi lagi penyidik pembantu mengatakan tidak perlu karena pihak penyidik sudah punya ahli pidana, atau nanti akan dipertimbangkan apakah akan dihadirkan atau tidak, nanti setelah BAP. Tapi hingga saat ini sudah di persidangan, saksi maupun ahli pidana dari pihak terlapor, tidak pernah dipanggil,” ungkapnya.
“Jadi inti materi permohonan gugatan praperadilan dari kami pihak pemohon yakni terkait SPDP lewat dari 7 hari, saksi ade charge dan ahli pidana yang diminta pihak terlapor tidak pernah diperiksa, surat penangkapan padahal terlapor saat itu memenuhi panggilan penyidikan dan BAP, dan permohonan penangguhan penahanan. Jadi tanggal 20 ditahan, pada tanggal 22 saya mengajukan permohonan penangguhan penahanan tapi tidak ada tindak lanjut atau tindak saran hingga dua kali mengajukan tapi tindak saran hanya menyatakan dipending,” pungkasnya saat diwawancarai sejumlah wartawan usai sidang.
Sementara itu, pihak Polres Bitung lewat Kasat Reskrim AKP. Muhammad Fadli, SIK saat dikonfirmasi soal ketidakhadiran pada persidangan mengatakan bahwa nanti akan hadir di sidang ke dua. “Karena masih koordinasi dengan Bidkum Polda Sulut,” jawab Kasat.
Sementara itu juga, mengenai awal terjadi hutang piutang hingga Karim dilaporkan oleh Yunistiawaty Soehardjo ke Polres Bitung, istri terlapor saat diwawancarai mengatakan bahwa masalah ini bermula kedatangan suami pelapor ke rumah yang sekaligus sebagai kantor terlapor untuk meminta terlapor Karim untuk membantunya menagih hutang uang yang dipinjamkan kepada dua orang karyawan Karim, yakni Rostin dan Dody.
“Suami kemudian meminta pak Hadirin suami pelapor untuk datang kembali saat gajian karyawan minggu berikutnya. Selanjutnya Hadirin menawarkan kepada Karim kalau bagaimana dia juga meminjamkan uang ke karyawan karyawan. Tapi suami tidak terlalu serius menanggapi karena sedang fokus di pekerjaan. Ehh tiba waktu gajian minggu berikutnya, suami kaget karena sudah banyak karyawan yang berurusan pinjaman uang dengan pak Hadirin,” terang Fitri, istri Karim.
Kemudian sejak saat itu terjadi penagihan penagihan dan pinjaman oleh Hadirin kepada karyawan secara langsung di depan Karim dengan memanggil satu persatu sebanyak sepuluh orang masing masing satu juta dan dikembalikan jadi 1.200.000 per karyawan setiap dua minggu.
“Jadi suami saya hanya menyaksikan saja dan tak ikut mencampuri setiap pinjam meminjam yang dilakukan pak Hadirin dengan karyawan, apalagi belakangan sudah mengetahui kalau pak Hadirin sebagai anggota di Polres. Tapi pak Hadirin tidak pernah datang menggunakan seragam polisi,” ujarnya.
Proses pinjam tagih antara Hadirin dengan karyawan kata istri Karim, dilihat berjalan lancar terus menerus hingga suatu ketika Hadirin datang menemui Karim dan menyodorkan catatan hutang senilai 72 juta dengan rincian beberapa kali tidak membayar ditambah bunga 40% per bulannya.
“Selang beberapa waktu, kemudian datang istri pak Hadirin ke rumah menemui suami. Yunistiawaty yang baru pertama kali datang dan bertemu dengan kami, mengatakan kedatangannya atas perintah karena pak Hadirin lagi bertugas ke daerah Sangihe. Tapi sebelumnya, dia yang datang bersama dua orang sudah main ambil foto rumah, dan foto kantor,” beber istri Karim.
“Setelah ibu itu masuk ke kantor menemui suami, dia langsung menyodorkan dan meminta suami saya menandatangani kwitansi. Tapi suami menolak dan menelepon menanyakan ke pak Hadirin menanyakan kwitansi yang dipaksakan untuk ditandatangani sudah bernilai 90 juta. Saat itu Hadirin cuma bilang sudah tanda tangan saja, nanti itu torang dua pe urusan. Hadirin terus menekan untuk ditandatangani dan meyakinkan tidak apa-apa dan meminta Karim untuk membayarkan bunga 9 juta saja sembari mengatakan itu nanti torang bicarakan langsung besok kalau sudah tiba,” urainya.
“Akhirnya kemudian suami memberikan uang 9 juta dan menandatangani kwitansi yang disodorkan pelapor. Disaat itu juga si pelapor istri dari komdan memotret suami saya, dan itu disaksikan oleh beberapa karyawan suami. Jadi mereka karyawan mengetahui persis tindakan istri komdan Hadirin Sampingan, saat mulai datang hingga kembali,” tandasnya.
“Usai kejadian kedatangan dan tindakan yang dilakukan pelapor di rumah dan kantor, suami saya jadi gelisah. Besoknya kami menghubungi Hadirin lewat Whatsapp tapi tidak ditanggapi. Bahkan suami dan saya mendatangi pak Hadirin ke rumahnya tapi mereka suami istri tak mau bertemu kecuali suami bersedia membayarkan semua uang sejumlah 90 juta,” ucapnya dengan raut sedih.
Ia pun menambahkan bahwa sejak saat itu suaminya terus didesak untuk membayar hutang uang yang tidak pernah dimintanya bahkan tidak pernah menerima atau menggunakan uang dari Hadirin Sampingan apalagi kepada pelapor. “Justru suami saya yang keluar uang bayar bunga yang bukan dia yang bertransaksi dengan komdan,” pungkasnya lirih.
(bal)