SANGIHE, LensaSulut.com – Pertengahan Maret 2021, masyarakat kampung Bowone dan beberapa kampung terdekat dikejutkan oleh undangan sosialisasi izin-izin pertambangan emas PT Tambang Mas Sangihe (TMS). Pasalnya, selain di wilayah beberapa kampung yang terletak di kecamatan Tabukan Selatan Tengah tersebut sedang marak penertiban tambang emas yang sedang dikelola rakyat, izin-izin tersebut diterbitkan pemerintah tanpa melibatkan masyarakat. Namun demikian, acara yang mensosialisasikan tentang Ijin Usaha Produksi (IUP) dan Ijin Lingkungan PT TMS dengan undangan peserta dari beberapa kampung yang dihadiri oleh perwakilan pemerintah kabupaten dan aparat, berlangsung kondusif.
Akan tetapi, usai mengikuti pertemuan sosialisasi tersebut, beberapa orang masyarakat langsung menghubungi Yayasan Suara Nurani Minaesa (YSNM) agar melakukan penyelidikan dengan tujuan membela hak-hak masyarakat atas lingkungan hidup yang sehat dan layak. Karena masih segar dalam ingatan mereka, sejak tahun 2008 silam, Yayasan Suara Nurani Minaesa (YSNM) telah melakukan beberapa diskusi (sosialisasi) terkait dampak pertambangan kepada masyarakat di sekitar lokasi yang disasar PT. TMS.
Merespon keluhan masyarakat tersebut, YSNM bersama sekitar 30 lembaga masyarakat sipil membentuk dan mendeklarasikan wadah perjuangan guna menyelamatkan pulau Sangihe dengan nama Save Sangihe Island (SSI).
Meski sudah mengantongi IUP dengan nomor : 163.K/MB.04/DJB/2021 berlaku mulai tanggal 29 Januari 2021 s/d 28 Januari 2054 (33 tahun) diberi ijin mengkapling 42.000 HA dari pulau Sangihe tampak cenderung bertentangan dengan akal sehat karena luas pulau Sangihe hanyalah 73.600 HA, artinya 57% dari luas daratan pulau Sangihe. Sehingga wilayah tersisa sebagai ruang hidup yang leluasa bagi kehidupan masyarakat tersisa 31.600 HA. Kapling tambang emas PT.TMS seluas 42.000 HA tersebut terletak di bagian Selatan Pulau Sangihe meliputi 6 kecamatan yakni : Tabukan Selatan, Tabukan Selatan Tengah, Tabukan Selatan Tenggara, Manganitu, Tamako dan Manganitu Selatan, mencakup 6 kecamatan dengan 80 kampung dan jumlah penduduk 57.563 jiwa (2019).
“Persoalan ini bukan sekedar matematika,” jelas Jull Takaliuang, Direktur YSNM.
“Tetapi merupakan ruang hidup masyarakat yang terbentuk selama berabad-abad dengan sejarah, budaya serta adat istiadat, makam-makam leluhur, persekolahan, tempat-tempat ibadat, mata pencaharian sebagai nelayan dan petani, ringkasnya merupakan segala-galanya bagi masyarakat terutama bagi anak cucu yang merupakan generasi penerus, yang sedang didistorsi oleh Izin pertambangan skala besar yang nyata-nyata akan merusak lingkungan hidup, akan merubah bentang alam dan meninggalkan limbah-limbah berbahaya,” urai Takaliuang panjang lebar.
Mengapa pulau Sangihe harus diselamatkan dari ancaman/dampak kehancuran akibat operasional pertambangan:
Sesuai UU no. 1 tahun 2014, Sangihe masuk dalam kategori pulau kecil (tidak mencapai 2000 km2 atau tidak mencapai luas 200.000 Ha). Luas daratan pulau Sangihe hanya 736 KM2 atau 73,600 Ha, sehingga dilarang ditambang (Pasal 35 UU No. 1 tahun 2014 huruf k) yang berbunyi: dalam pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, setiap orang secara langsung atau tidak langsung dilarang :
k. melakukan penambangan mineral pada wilayah yang apabila secara teknis dan/ekologis dan/atau sosial dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan masyarakat sekitarnya.
Perda no. 4 tahun 2014 RTRW Kab. Kepl. Sangihe pasal 41 menyatakan bahwa kabupaten kepulauan Sangihe adalah daerah rawan bencana gunung berapi yang meliputi Gunung Awu (1320 dpl) di kecamatan Tahuna Barat, Gunung Api Banua Wuhu (10 mtr) dibawah permukaan laut di kecamatan Tatoareng, dan gunung api Kawio Barat (2.500 m) di bawah permukaan laut di kecamatan Marore.
Pasal 42, Perda RTRW Sangihe juga menegaskan tentang keberadaan Sangihe sebagai kawasan rawan gempa bumi yang tersebar di wilayah kabupaten karena dipengaruhi oleh dua (2) lempeng besar yaitu lempeng Eurasia dan Lempeng Pasifik. Serta diapit juga oleh dua (2) lempeng kecil yaitu lempeng Sangihe dan Lempeng Laut Maluku, dst..
Terdapat Hutan Lindung Sahendarumang yang disahkan tanggal 17 Desember 2018 oleh Menteri KLHK melalui SK: 8599/MENLHK-PKTL/IPSDH/PLA.I/12/2018, areal ini juga masuk dalam kawasan IUP PT.TMS.
“Oleh karena izin-tambang PT TMS izin tampak bertentangan dengan akal sehat, maka sangatlah wajar gelombang protes masyarakat telah berkembang dan menjadi massif. Menurut kacamata YSNM, fenomena ini harus ditangani dengan cerdas sebab selain saat ini sedang pandemi covid-19 sedang menghantui negara dan masyarakat harus menghindari kerumunan, perjuangan masyarakat lebih baik dan lebih bermanfaat dilakukan pada koridor yang dibolehkan oleh undang-undang dengan senjata argumen dengan menghindari timbulnya chaos atau tindakan-tindakan anarki yang diakibatkan oleh kekecewaan atau kefrustrasian rakyat terhadap kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada rakyat,” lanjut Jull Takaliuang.
Hal ini tidaklah mudah untuk dilakukan di tengah menguatnya ketidakpercayaan atas situasi dunia hukum di Indonesia yang dikenal masyarakat dengan istilah “tajam ke bawah tumpul ke atas”.
“Namun demikian, kita harus menggiring masyarakat agar berjuang melalui koridor hukum yang berlaku di Indonesia, sebagai bagian dari komitmen bernegara. Konflik-konflik yang tidak berguna tidak perlu terjadi, seperti konflik masyarakat dengan aparat kamtibmas atau konflik horisontal antara masyarakat yang pro dan kontra, harus dihindari dengan pendekatan-pendekatan diskusi dan sosialisasi ke masyarakat akar rumput. Kehidupan dan peradaban di pulau Sangihe yang aman, damai dan tenteram selama berabad-abad harus kita dijaga,” pungkas Takaliuang lewat press release 27 Mei 2021.
(***/jefry)